Sejarah Indonesia: Mengenang Kembali Dekrit Presiden 5 Juli 1959

 Di Indonesia pernah terjadi peristiwa besar dalam sejarah tatanegara sejak diumumkannya dekrit Presiden 1959. Dalam dekrit ini menegaskan bahwa diberlakukannya kembali konstitusi Negara Indonesia yakni UUD 1945. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 merupakan transisi politik antara demokrasi liberal menuju demokrasi terpimpin.

Jika UUD 1945 merupakan periodisasi pertama, maka dekrit Presiden merupakan periode keempat dalam sejarah konstitusi negara Indonesia setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Periode pertama 18 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949, menggunakan UUD 1945. Periode kedua, penggunaan Konstitusi RIS, mulai 27 Desember 1949 hingga 17 Agutus 1950. Periode ketiga, 17 Agustus 1950-1959, menggunakan UUD Sementara.

Untuk lebih jelasnya berikut adalah penjelasan mengenai dekrit Presiden yang dikeluarkan pada 5 Juli 1959.

A. Latar Belakang Dekrit Presiden 1959

Di dalam pemerintahan Indonesia, dekrit dilaksanakan dua kali pada masa pemerintahan Ir. Soekarno dan pada masa pemerintahan K.H Abdurrahman Wahid. Adapun dekrit yang paling berhasil adalah dekrit yang dilakukan oleh Soekarno, dalam artian dekrit tersebut bisa membawa perubahan yang cukup drastis pada Indonesia yaitu sebagai penyelesai dari masa pemerintahan yang saat itu menganut sistem parlementer. Demokrasi parlementer sering disebut sebab utama dari banyak peristiwa yang membahayakan persatuan dan kesatuan Indonesia seperti permasalahan gerakan separatisme, provisialisme, jatuhnya kabinet dan kegagalan konstituante dalam merumuskan UUD yang baru.



Sumber gambar: https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/452514/yuk-mengenal-dekrit-presiden-5-juli-1959

Dalam hal kegagalan konstituante dalam merumuskan UUD yang baru memperkuat keinginan presiden Soekarno untuk segera melakukan dekritnya, bahkan hal ini menjadi sangat krusial dalam melaksanakan dekrit Presiden dikarenakan kembali diberlakukannya UUD 1945 yang menggantikan UUDS yang dianggap tidak sempurna.

Pada tanggal 22 April 1959 tepat di depan sidang Konstituante, Presiden Soekarno berpidato mengatasnamakan pemerintah menganjurkan agar Konstituante dianjurkan untuk menetapkan kembali UUD 1945 sebagai landasan UUD Negara Indonesia yang formil. Sebelum Konstituante menerima atau menolak usul pemerintah itu, terlebih dahulu dari blok Islam datang dan mengusulkan amandemen untuk mengembalikan kata-kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” kedalam pembukaan UUD 1945. Usul dari pemerintah dan juga faksi Islam tersebut ditolak oleh Konstituante dalam sidangnya tanggal 29 Mei 1959 dengan perbandingan suara 201 (setuju) lawan 256 (menolak). Pada tanggal 30 Mei 1959 baru dilakukan pemungutan suara terhadap usul pemerintah kembali kepada UUD 1945 (tanpa perubahan). Hasilnya adalah 269 lawan 199, sedang yang hadir pada waktu itu 474 orang anggota, jadi dengan demikian tidak tercapai 2/3 seperti yang diisyaratkan oleh Pasal 37 UUDS 1945.

B. Isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959

Rentetan peristiwa politik tersebut kemudian mendorong Presiden Soekarno pada hari Minggu tanggal 5 Juli 1959 jam 17.00 WIB di Istana Merdeka mengumumkan Dekrit Presiden. Isi pokok dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959 antara lain adalah :

1. Menetapkan pembubaran Konstituante

2. Ditetapkannya kembali UUD 1945 sebagai konstitusi negara bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan tidak diberlakukannya UUDS 1950.

3. Membentuk MPRS yang terdiri atas anggota-anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan golongan dari daerah.

4. Membentuk DPA sementara.

C. Dampak dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959

Secara teoritik pergantian konstitusi akan berdampak pada perubahan struktur negara, falsafah negara, tujuan negara ataupun juga kebijakan negara. Selain itu daerah-daerah di Indonesia mengalami pergolakan, seperti dimulai pada tahun 1956 dengan berdirinya Dewan Banteng, Dewan Gajah, Dewan Garuda, Dewan Manguni, Dewan Mangkurat. Kemudian pergolakan meningkat menjadi PRRI/Permesta dan akhirnya berubah menjadi RPI (Republik Persatuan Indonesia). Dalam mengatasi pergolakan setelah terjadinya dekrit Presiden, pihak pemerintah dan kemiliteran menggunakan cara keras untuk mengatasi hal tersebut sehingga berdampak kurang disukai oleh masyarakat. Cara keras tersebut dilakukan dikarenakan sesuai undang-undang darurat perang. Kemudian akibat dari peristiwa ini banyak masyarakat yang mengeluarkan anggapannya bahwa kekuasaan militer harus dibatasi.

Daftar Pustaka

Caldwell, Malcom & Ernst Utrecht. 2011. “Sejarah Alternatif Indonesia”. Yogyakarta: Djaman Baroe.

Kusuma, Erwien dan Khairul.2008. “Pancasila dan Islam: Perdebatan antar Parpol dalam penyusunan Dasar Negara di Dewan Konstituante”. Yogyakarta: PSP UGM.

Lane, Max. 2014. “Unfinished Nation”.Yogyakarta: Djaman Baroe.

Lane, Max. 2012. “Malapetaka di Indonesia”. Yogyakarta: Djaman Baroe.

Pour, Julius. 2010. “Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & Petualang”. Jakarta: Kompas.

Ricklefs, M.C. 2005. “Sejarah Indonesia Modern” Yogyakarta: UGM Press.

Risdiarto, Danang.2018. "Legalitas Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Pengaruhnya Bagi Perkembangan Demokrasi di Indonesia". Jurnal Legislasi Indonesia. Vol. 15 No. 01.

Komentar

Postingan paling dicari

Sejarah Indonesia: Perubahan Pancasila Sejak Era Pra Proklamasi sampai Saat Ini

Pengetahuan Kebangsaan: Ketahuilah 4 Landasan Pancasila